Sebuah catatan
mencari kedamaian hidup di tanah Papua
Nama Tanah Papua tidak asing bagi seluruh orang kepualauan
di Indonesia bahkan seluruh dunia di muka bumi ini. Tanah Papua Barat (Sorong
sampai Samarai) terkenal di seluruh dunia hanya karena dua hal yaitu Harta
Kekayaan Alam dan Konflik. Dahulu hingga kini tanah Papua Barat menjadi tanah rebutan
bagi kaum kapitalis, feodal, imperialis dan kolonial ketika mereka memandang
tanah Papua Barat mempunyai harta kekayaan alam yang berlimpa ruah seakan surga
kecil jatuh di bumi. Ketika mereka memandang kekayaan alam di Papua Barat
setiap kaum kapitalis, imperialis, feodal dan kolonial Negara Negara di dunia
termasuk Negara Indonesia berlomba lomba menuju ke tanah Papua Barat.
Kedatangan mereka bukan karena senangnya Manusia Papua Barat melainkan
senangnya harta kekayaan alam sehingga manusia Papua Barat lewat (mati) begitu
saja tanpa ada rasa simpati dari orang luar, yang meningkat hanyalah masalah
diatas masalah. Oleh karena itu untuk mencari kedamaian hidup di Tanah Papua
Barat maka dalam tulisan ini penulis akan menguraikan tiga hal yaitu yang
pertama akan menguraikan tentang bagaimana Negara Indonesia menganangi manusia
dan kekayaan alam Papua Barat, yang kedua akan mengulas tentang bagaimana
berbagai Elemen menangani Papua Barat dan yang ketika adalah mencari jalan yang
terbaik Papua Tanah Damai.
1. Penanganan Negara terhadap Manusia dan Kekayaan Alam Papua
Barat
Perjalanan
hidup masyarakat Papua Barat sejak Papua Barat Merdeka dan kemudian dianeksikan
ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga kini sudah memasuki
setengah abad atau 50 tahun hidup bersama Negara Indonesia. Realita hidup
masyarakat Papua di dalam Bingkai NKRI sudah gagal memberi kenyamanan hidup bagi masyarakat Papua Barat
dalam hal keamanan hidup bagi Masyarakat Asli Papua (MAP). Sekalipun Negara
Indonesia akan menggantikan era dari Orde Lama (ORLA), Orde Baru (ORBA) hingga
Era Reformasi untuk mengatur tatanan hidup bagi warga Negara Indonesia bagi MAP
di Tanah Papua Barat hanyalah istilah era ganti istilah era yang mana konsep
pembangunan Negara Indonesia tetap sama dari era pertama hingga era terakhir
yaitu era reformasi sehingga tindakan tindakan lapangan atau praktek praktek
konsep pembangunan di lapangan tetap konsep pembangunan militeristik di Papua
Barat sehingga yang terjadi adalah lain konsep lain praktek di lapangan.
Sejak
Papua Barat merdeka 1 Desember 1961 dan menyerahkan ke dalam UNTEA 1 mei 1963
hingga PEPERA 1969 Papua dianekasikan kedalam NKRI itu adalah pintu awal
memulai hidup MAP dalam tekanan Pembunuhan, Penculikan, Penindasan,
pembantaian, perampasan dan pemerkosaan. Hal ini terbukti ketika operasi
militer terus terjadi di Tanah Papua Barat, tiada tahun yang hidup aman bagi
MAP di tanah Papua Barat. Contohnya tanggal 19 Desember 1961 setelah sembilan
belas hari Papua Barat Merdeka Soeharto mengikrarkan TRIKORA, Peristiwa Operasi
Sadar (1965-1967), Operasi Brathayudha (1967-1969), Operasi Wibawa (1969),
Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapuh Bersih I dan II
(1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984), Operasi
Sapuh Bersih (1985), Peristiwa Mapunduma Berdarah (1996), Peristiwa Wasior
Berdarah (2001), Peristiwa Abepura berdarah (2000), Peristiwa Wamena Berdarah
(2003), Peristiwa Puncak Jaya berdarah (2004), Peristiwa 16 maret 2006 dan
peristiwa peristiwa lain (baca Neles Tebai 2006:5 dalam buku Interfaith
Endeavours for Peace in West Papua). Dan di tahun 2011 ini daerah yang
dipusatkan untuk operasi militer sudah sedang berjalan di tiga daerah yaitu
Paniai, Puncak Jaya dan Timika.
Lain
konsep lain pratek di lapangan ini terlihat ketika tumbalnya rezim Presiden
Soeharto menggantikan pula dari era ORBA ke era Reformasi dimana Negara
memberikan ruang gerak yang seluas luasnya bagi warga Negara untuk menyampaikan
segala bentuk aspirasi di depan publik atau bebas menyampaikan aspirasi di muka
umum, namun demikian bagi MAP di tanah Papua Barat amat sangat sulit
mempraktekkan kebebasan menyampaikan pendapat, opini di muka umum karena
kenyataan bahwa aktivis pro demokrasi dan kemanusiaan tetap memberikan stigma
makar, separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), dll.
Negara
Indonesia demi memberikan jaminan kenyamanan hidup kepada MAP di Tanah Papua
Barat maka, Negara Indonesia melalui Tentara Nasional Indonesia (TNI)
menetapkan dan mengangkat motto militer Indonesia di Papua Barat adalah “Kasih itu Indah, Damai itu Indah” yang
selalu terpampang di jalan raya maupun di kantor KODAM, KOREM, KODIM dan di
jalan jalan. namun demikkian, ini adalah hanyalah slogan belaka yang tak pernah
terjawab atas mottonya mereka. Sebagai sampel yang penulis ambil untuk
menunjukkan pada tahun sebelumnya juga adalah tahun 2011, Ada banyak contoh
kasus kasus di Tahun 2011 yang menjadi pelakunya adalah Negara melalui TNI dan
Polisi adalah pada bulan April 14-16 dibawah Pimpinan Kapolsek Moanemani Iptu
Mardi Marpuang S.Sos menembak dan menyisir masyarakat Moanemani di Kabupaten
Dogiyai, 14 Mei 2011 Mahasiswa UNIPA ditikam mati di Pelabuhan Samabusa Nabire
oleh Serka Hans Aru anggota TNI Batalyon 753 Nabire, 28 mei 2011 berawal dari
kecelakaan lalu lintas sampai polsek Abepura menyerang dan menyisir hingga
mengorbankan 4 orang mahasiswa Pegunungan Bintang di Kamkei, pada bulan juni
dan juli 2011 polisi mengejar masyarakat di Puncak Jaya karena di duga TPN/OPM,
pada bulan 15-27 Agustus 2011 polisi mengejar rombongan Jhon Yogi sehingga
masyarakat Paniai yang lain mengungsi ke tempat lain, masih dalam bulan agustus
2011 Polresta Jayapura menangkap 15 orang umat Baptis di Skyland, pada bulan
September 2011 penambahan pasukan dari Kelapa Dua Jakarta di Timika areal PT.
Freport, tanggal 19 Oktober 2011 dibawah Pimpinan Kapolresta Jayapura Iman
Setiawan, SIK menyerang masyarakat Papua yang menjadi peserta Kongres Papua III
di Lapangan Zakeus Padang Bulan di Abepura, pada bulan November pengejaran rombongan
Jhon Yogi di Paniai hingga masyarakat biasa pun mengungsi ke tempat lain,
tanggal 13 november 2011 polisi menembak warga Yulius di Baya Biru di Degeuwo, terakhir
3 hingga kini Desember 2011 Polisi membumihanguskan satu kampong Wandigobak
distrik Mulia di Kabupaten Puncak Jaya.
Berdasarkan
contoh kasus di tahun 2011 tersebut diatas, ini terlihat tak ada satu bulan pun
yang MAP hidup aman dan nyaman dimana pelaku utama adalah Negara melalui
keamanan, dari contoh tahun 2011 tersebut menjadi sampel juga di tahun tahun
sebelumnya. Oleh karena itu, mengakhiri tulisan dibagian ini penulis mengakhiri
dengan pertanyaan pertanyaan. pertanyaan kritis penulis adalah apa maksud motto
TNI di Papua Kasih itu Indah, Damai itu Indah? Sejauh mana implementasinya
tentang mottonya? Benarkah Motto TNI ini masyarakat Papua sedang rasa? Apakah
Negara melaui polisi memberikan Jaminan hidup aman kepada MAP?
2. Penanganan Berbagai Elemen terhadap Manusia dan Kekayaan
Alam
Menciptakan
Papua Tanah Damai adalah tugas dan tanggung jawab semua orang yang tinggal dan
di hidup di tanah Papua Barat tidak hanya tugas Negara melaui TNI dan Polisi
sehingga setiap orang yang tinggal dan hidup di tanah Papua Barat wajib
memberikan kontribusi ide, dukungan, opini dengan tujuan menciptakan tanah
Papua Barat menjadi Tanah Damai. Menyadari betapa pentingnya menciptakan Papua
Tanah Damai maka empat puluh unsur kunci yang terdiri dari Organisasi non
pemerintahan (Ornop), Agama, politisi, masyarakat adat, pemerintah, media
massa, tokoh perempuan dan akademisi mengadakan Lokakarya pada tanggal 25-30
November 2002 di Hotel Sentani Indah. Hasil Lokakarya yang ditetapkan ini
dikembangkan oleh masing masing unsur yang hadir saat itu.
Meskipun
demikian, realita hidup MAP saat ini semua kalangan sedang diam membisu atas
berbagai konflik yang terjadi secara kontinu dan berkepanjangan di Tanah Papua
Barat. Misalnya masyarakat adat antara Wamena dan Yoka, Waena Kampung terjadi
pertengkaran, itupun Ondoafi dan Kepala Suku diam membisu padahal sebelumnya
mengaku diri sebagai Ondoafi kepala Suku sehingga masalah NKRI Harga Mati atau
Papua Harga Mati mereka duluan angkat bicara tetapi tidak pernah bicara atas
masyarakatnya sendiri. Begitu pun agama,
Sofyan Socrates Dumma Yoman di setiap buku yang beliau tulis
selalu mengatakan bahwa gereja harus menjadi benteng terakhir perlawanan umat
Tuhan di Papua. Gereja tidak boleh berkoar-koar di mimbar-mimbar gereja saja
tapi gereja harus berbicara suara kenabian, mengatakan yang benar kepada siapa
saja yang melanggar hak-hak dasar umat manusia. Gereja tidak boleh diam, gereja
tidak boleh tutup mulut, gereja tidak boleh berdansa-dansa di dalam tetesan
darah dan air mata Umat Tuhan yang tertindas, teraniaya, terbelenggu oleh
kekuatan-kekuatan yang memenjarakan mereka di atas tanah leluhur. Manusia tidak
boleh dibunuh, dihina, diperlakukan tidak adil oleh siapapun, atas nama apapun
(Baca Setiap Buku yang Dumma Tulis).
Kita
harus mengakui dan menghargai bahwa betapa Pandai dan Pintarnya seorang
Pendeta, Pastor, Haji berdansa dansa memberikan kotbah dengan kata kata manis,
mutiara, bijak dan ayat ayat yang sudah hafal diluar kepala diatas mimbar
mimbar yang suci sehingga umat menjadi kagum dan heran tetapi betapa bodohnya mereka
ketika umatnya dibunuh, ditembak, dibantai, ditindas dan ditikam mereka diam
1001 kata dan bahasa, seakan Bunga Putri Malu Yang Disentuh Orang. Maka
singkatnya penulis mau katakan pemimpin Papua Barat Pendeta, Haji dan Pastor
amat sangat pintar dan berani mewartakan Firman Tuhan dan Yesus Kristus tetapi
mereka sangat Takut memikul Kayu Salib Tuhan Yesus. Begitu pun elemen
elemen lain seperti, politisi, akademisi, dll juga sedang diam membisu atas
konflik yang berkepanjangan dan kontinu di Papua Barat.
3. Mencari Jalan Menuju Papua Tanah Damai
Konflik yang
berkepanjangan dan berkontinu diatas tanah Papua Barat yang mana proses
penyelesaian masalah yang tak kunjung datang, yang ada hanyalah pembantaian,
pembunuhan, pertumpahan darah, penculikan dan penindasan yang tiada hari, tiada
bulan satu pun yang MAP merasa hidup aman, nyaman, tentram dan Damai sekalipun
masyarakat maupun seluruh elemen mengharapkan Tanah Papua Barat harus Damai
dari segala konflik. Penulis juga mengakui dan menghargai bahwa berbagai cara
yang tempuh untuk mencegah konflik namun semuanya berbuntut tidak ada hasilnya.
Oleh karena itu penulis mengharapkan agar Dialog Jakarta-Papua yang di rancang
oleh Pastor Dr. Neles Tebai mesti dilakukan oleh kedua belah pihak dengan
posisi Papua dan Jakarta bukan Pemerintah Pusat Jakarta dan Pemerintah Daerah
Papua.
Dialog harus akui bahwa
bukan sebuah tujuan dan solusi tetapi sebuah cara dan jalan menuju tujuan, itu
berarti setelah dialog juga harus ada langkah langkah tertentu yang harus
tempuh demi mencapai tujuan bagi semua orang. Untuk melaksanakan Dialog
Jakarta-Papua mesti melepaskan semua bentuk kecurigaan hasil Dialog yang akan
capai dari kedua belah pihak dan segera menetapkan juru runding masing masing
serta menentukan tempat pelaksanaannya. Oleh karena itu, untuk mengakhiri
tulisan ini rekomendasi penulis adalah Dialog Jakarta-Papua tanpa Syarat harus
dilaksanakan dengan mediator dari pihak ketiga yang bukan Indonesia dan Papua
serta tempat yang diluar dari Papua dan Indonesia pula. Semoga ………!!!!
0 komentar:
Posting Komentar